Dewi Indriastuti
Ini contoh anak muda Minangkabau. Deni (30) merantau ke Bandung setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Tujuannya memperoleh pendidikan tinggi yang lebih baik. Setelah itu, ia bekerja di Jakarta. Alasannya, peluang kerja di Jakarta lebih banyak dan kondisi kerja lebih menantang.
Bisa jadi tipikal anak muda seperti Deni ini semakin banyak. Keengganan pulang kampung setelah lulus kuliah bukan karena alasan gengsi, melainkan menyambut tantangan yang lebih berat di rantau.
Bukan juga melupakan kampung halaman. Setiap hari raya Idul Fitri, Deni beserta adik dan kakaknya—yang juga merantau ke Jakarta selepas SMA—pulang kampung.
”Di rumah orangtua di Bukittinggi ada enam kamar kosong. Kamar ini akan penuh saat Lebaran karena kami, enam bersaudara yang semuanya merantau, pulang ke rumah,” kata Deni, Kamis (30/7).
Rantau menjadi tradisi yang kental di Minangkabau, selain lapau dan surau. Rantau, lapau, dan surau menjadi bagian dari perjalanan hidup laki-laki di tanah yang menerapkan sistem matrilineal atau garis keturunan ibu itu.
Hans van Miert dalam bukunya berjudul Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia 1918-1930 menyebutkan, untuk orang Minangkabau, bepergian berarti mengikuti tradisi lama yang dinamakan rantau.
Artinya, meninggalkan daerah sendiri untuk mencari pengetahuan atau karena pertimbangan ekonomi dan nantinya pulang dalam keadaan sudah lebih matang dan/atau lebih kaya.
Elizabeth E Graves dalam bukunya, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century, menyebutkan, merantau adalah interaksi paling penting antara penduduk nagari dan dunia luar. Rantau berlaku di mana saja, selama di luar wilayah nagari tempat asalnya. Nagari adalah wilayah pemerintahan setingkat desa.
Rantau merupakan petualangan pengalaman dan geografis. Secara sadar memutuskan meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba merantau, mengadu peruntungan.
Ada dua motif utama merantau, yakni melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan. Untuk urusan pekerjaan, perkembangan merantau nyatanya menimbulkan kekhawatiran. Hal itu tergambar dari perbincangan Kompas dengan warga Nagari Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar, dan Silungkang, Kota Sawahlunto.
Pandai Sikek dan Silungkang, yang dikenal sebagai sentra tenun di Sumbar, selama ini mengandalkan kaum perempuan untuk menjaga keberlangsungan hidup tenun. Semakin banyak perempuan yang merantau untuk bekerja berdampak pada berkurangnya jumlah penenun.
Amril, pemilik usaha tenun di Silungkang, menuturkan, tanah di daerahnya tandus. ”Sebanyak 70 persen penduduk sini ada di perantauan. Sisanya, 30 persen, ada di kampung. Mau tidak mau harus bisa menenun supaya bisa hidup,” katanya.
Contohnya Azwar, yang pernah merantau ke beberapa kota di Pulau Jawa. Ia akhirnya kembali ke tanah kelahirannya di Silungkang. Dengan keahlian menggulung benang—agar siap ditenun—Azwar dapat menghadapi hidupnya.
Rasmi, pemilik usaha tenun di Pandai Sikek, menyampaikan kekhawatiran yang tak jauh beda. Kota Bukittinggi— yang tak jauh dari Pandai Sikek— menjadi semakin modern, ditandai dengan munculnya supermarket, kafe, hotel, pusat perdagangan serupa mal, dan restoran makanan cepat saji. Modernitas ini membutuhkan tenaga kerja yang juga berasal dari nagari sekitar.
Tsuyoshi Kato dalam buku Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia menuliskan, kecenderungan paling penting dalam praktik merantau Minangkabau adalah penyertaan perempuan karena perempuan mencari pendidikan yang lebih tinggi.
Perubahan proses tradisi juga terjadi pada surau dan lapau. Selama ini, surau menjadi tempat anak laki-laki hingga beranjak remaja dan dewasa untuk tidur, mengaji, belajar ilmu agama, bela diri, dan belajar ilmu pengetahuan lain. Di surau, bocah laki-laki menjalani proses pematangan diri sebelum akhirnya dewasa dan merantau.
Sosiolog Universitas Andalas, Padang, Rinaldi Ekaputra berpendapat, simbol surau saat ini menjadi gambaran indah masa lalu. Surau semata-mata menjadi tempat ibadah. Meski demikian, peran surau untuk proses pendewasaan anak laki-laki itu bisa jadi masih kental di daerah yang jauh dari perkotaan.
Perkembangan makna justru terjadi pada lapau. Warung kopi yang banyak terdapat di seluruh wilayah Sumbar itu semula memiliki konsep ekonomi. Pranata utang terjadi di lapau, yakni barang dapat diambil lebih dulu dan baru dibayar saat panen tiba.
Konsep ekonomi masih mendominasi lapau yang berderet di sepanjang jalan raya Padang-Padang Panjang. Lapau di situ menjadi tempat beristirahat sambil membelanjakan uang.
Lama-kelamaan, fungsi lapau bergeser menjadi semacam media pertemuan informal serta tempat pertukaran informasi dan ekonomi. Lapau demikian biasanya menyediakan televisi dan permainan, seperti kartu.
”Bapak-bapak nongkrong di warung kopi setelah shalat isya atau magrib. Bicara tidak terstruktur,” kata Rinaldi.
Lapau pula yang akhirnya ”mendidik” kaum laki-laki di Sumbar untuk terbiasa menyampaikan pendapat, bertukar pikiran, berdebat, tetapi tetap menghargai pendapat orang lain. Pembicaraan di lapau biasanya terpengaruh kondisi termutakhir. Misalnya, tahun 2009 ini, isu pemilihan umum presiden-wakil presiden menjadi topik hangat di lapau.
Dengan surau, lapau, dan rantau, bumi Minangkabau menyiapkan anak-anaknya menghadapi kerasnya kehidupan.
sumber: koran.kompas.com
No comments:
Post a Comment