03 August 2009

Energi dari Negeri Laskar Pelangi


Ilham Khoiri

Belitung, pulau kecil penghasil timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sedang ”booming”. Kawasan yang dulu terisolasi itu kini masyhur, didatangi banyak wisatawan, dan masyarakat lokal bergairah menyambut harapan baru. Inilah momentum kebangkitan yang tercipta, antara lain, berkat tetralogi novel ”Laskar Pelangi” beserta filmnya.

”Negeri Laskar Pelangi”. Begitu masyarakat setempat menjuluki Pulau Belitung—dalam ejaan lama disebut Belitong. Julukan itu kini jadi buah bibir di mana-mana, termasuk menjadi tagline, koran setempat. Belitung Pos.

Semua itu tak lepas dari sukses tetralogi novel karya Andrea Hirata (pemuda asal Gantung, Belitung Timur): Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Novel itu berkisah perjuangan anak-anak di pulau tersebut untuk bersekolah di tengah keterbatasan fasilitas pendidikan. Setelah melewati berbagai hambatan, beberapa anak sukses melanjutkan studi ke Jakarta, bahkan di Eropa.

Seperti diketahui, novel yang pertama kali diterbitkan Bentang Pustaka tahun 2005 itu meledak dengan mencetak angka penjualan lebih dari sejuta eksemplar. Karya ini menjadi fenomenal dan memberikan inspirasi bagi banyak orang.

”Mungkin karena ceritanya adalah kisah semua orang, yang harus berjuang mengatasi buruknya pendidikan di Tanah Air,” kata Andrea Hirata, pekan lalu.

Saat diangkat jadi film tahun 2008, Laskar Pelangi dengan sutradara Riri Riza juga sukses di pasaran. Selama beberapa bulan tayang di bioskop, film garapan Miles Films dan Mizan Productions itu ditonton sekitar 4,6 juta orang. Kualitas film itu juga diapresiasi secara internasional, termasuk dengan masuk dalam seksi panorama di Berlinale International Film Festival awal tahun 2009.

Novel dan film itu tentu saja mengangkat popularitas Belitung. Pulau kecil yang dulu hanya dikenal sebagai penghasil timah menjadi masyhur di seantero Nusantara, bahkan mancanegara. ”Film sangat mudah mempromosikan suatu kawasan karena memotret secara hidup pemandangan, budaya, dialek, dan masyarakatnya,” kata Riri Riza.

Kebangkitan

Sukses novel dan film Laskar Pelangi segera memicu harapan baru bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Dengan pasang julukan ”Negeri Laskar Pelangi”, mereka berusaha mendorong kebangkitan Pulau Belitung—yang kini terbagi dalam dua kabupaten: Belitung dan Belitung Timur. Itu terlihat dari penyegaran wajah kota, peningkatan wisatawan, dan gairah masyarakat menyambut harapan baru.

Perubahan terbesar tampak di Manggar, ibu kota Belitung Timur, yang kini memiliki kompleks perkantoran yang bagus. Hampir semua jalan raya penting di pulau itu, misalnya, sudah beraspal mulus, bahkan hingga masuk ke pelosok menuju pantai yang dijadikan obyek wisata. Jalan raya di tengah kota diperlebar. Beberapa gedung baru tengah dibangun, termasuk beberapa yang dikabarkan akan dijadikan hotel.

Perubahan di sektor wisata tampak di sekitar Tanjung Pandan, ibu kota Belitung. Pantai Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang—dua pantai indah berjarak sekitar 25 kilometer dari Tanjung Pandan, yang dijadikan tempat shooting Laskar Pelangi—kini ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara.

Rod Swift (61), warga Inggris, contohnya, sangat menikmati pantai itu karena punya pasir putih, air jernih, dan batu susunan granit indah luar biasa. ”Rasanya saya ingin mati tua di sini saja,” katanya dengan mimik serius.

Meski belum ada catatan resmi, masyarakat lokal, para pedagang suvenir, dan pengelola penginapan merasakan lonjakan wisatawan setelah ledakan novel dan film Laskar Pelangi. Mereka itu bisa wisatawan biasa, kelompok fotografer, atau turis asing. ”Dulu, pantai ini sepi. Sekarang ramai sekali dan puluhan tamu menginap di sini,” kata Rudi Helwansa, manajer Kelayang Beach Cottages di Tanjung Kelayang.

Di Belitung Timur, efek novel dan film pada wisata lebih kentara lagi. Sebagian turis sengaja datang demi menelusuri jejak Laskar Pelangi di Gantung. Mereka menengok sekolah bekas pembuatan film yang hampir roboh, mengunjungi rumah Ikal dan Bu Muslimah (dua tokoh penting dalam cerita), dan melihat pasar Gantung.

”Bahkan, ada paket tur khusus Laskar Pelangi,” kata Yusmawandi, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur.

Pemilik rumah yang dijadikan shooting film pun merasakan kunjungan wisatawan. ”Lebih dari 200 orang yang bertamu. Rumah ini masuk majalah,” kata Ahmad Ismail (70), pemilik rumah untuk shooting rumah Ikal dan Pak Arfan.

Tentu saja proses produksi film itu sendiri—seperti film Sang Pemimpi yang digarap selama 1,5 bulan di Belitung—juga memberi efek ekonomi tersendiri. Dari total Rp 11 miliar biaya produksi, kata Mira Lesmana dari Miles Films, hampir Rp 4 miliar dihabiskan di Belitung, antara lain untuk honor kru lokal, katering, penginapan, dan rental mobil.

Karya kreatif

Kebangkitan Belitung mencuat menyusul sukses tetralogi novel dan film Laskar Pelangi. Situasi ini mirip dengan Kota Wellington di Selandia Baru yang tumbuh cepat setelah dijadikan markas utama pembuatan film trilogi The Lord of The Ring. Begitu pula sukses film Slumdog Millionaire yang segera menarik perhatian dunia pada kehidupan kaum miskin di tengah kota Mumbai, India.

Semua itu seperti meneguhkan tesis Richard Florida, ahli studi kota asal Amerika Serikat: kemajuan kota didorong kelas kreatif yang berdaya inovasi tinggi sehingga bisa menggerakkan perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Di Belitung, tetralogi novel dan film Laskar Pelangi telah memompa energi memajukan pulau itu. Masyarakat berharap, energi itu segera diikuti program nyata, seperti menyiapkan infrastruktur wisata, seperti transportasi, promosi, dan penginapan—yang masih sangat minim.

”Jika pemerintah masih terus gagap, momen ini bisa hilang,” kata

Saderi (68), tokoh masyarakat di Gantung.

sumber: Kompas


No comments:

Post a Comment