Pada awal 1990-an, program populer seperti ini disukai penonton Inggris, bahkan BBC4 menjadi saluran khusus untuk mengeksplorasi aneka film dokumenter.
Di Indonesia, kita melihat—seperti dalam produksi televisi lainnya—satu stasiun sukses menyiarkan suatu tayangan kisah nyata pencarian orang, pengekornya segera bermunculan. Contoh, Trans TV sukses dengan program Termehek-mehek, stasiun lain ingin mendapat kue yang sama. Peringkat untuk program tayangan kisah nyata jenis itu pun naik.
Hill juga mengatakan bahwa perkembangan tayangan kisah nyata adalah paduan buah pikir pemrogram TV dan arus komersialisasi, serta hasil persaingan antarstasiun. Tak ketinggalan adalah hitung-hitungan ekonomi. Bayangkan di Indonesia, untuk membuat sinetron, bayaran artis top bisa mencapai lebih dari Rp 20 juta per episode. Artinya, ongkos produksi satu episode sinetron bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Untuk tayangan kisah nyata, tak perlu ada bintang besar, cukup ada ”klien” (merujuk istilah yang muncul dalam program ini), pembawa acara, dan alat transpor, untuk operasi pencarian orang. Program ini mudah diproduksi, menghasilkan banyak iklan. Dengan skrip yang—mungkin sebagian besar—tak sepenuhnya berasal dari cerita nyata, plus dramatisasi dari para ”artis” yang biasa-biasa saja, mobil bepergian dari satu tempat ke tempat lain untuk mengumpulkan cerita.
Kondisi ini mirip saat kita melihat perkelahian atau tabrakan di jalan raya. Kita ingin ada drama. Kita ingin ada konflik. Kita ingin tahu ada masalah apa sebenarnya. Kita ingin tahu bagaimana akhir kisahnya.
Yang menarik, para pembawa acara tayangan kisah nyata sering menggunakan istilah ”klien” untuk mereka yang datang kepada tim ini (Termehek-mehek misalnya) dan memberi ide untuk mulai melakukan ”pencarian” seseorang.
Entah mengapa, yang menjadi ”klien” lebih banyak perempuan. Dengan bekal informasi secukupnya dari para klien, tim mulai berburu target utama.
Ibarat makan bubur panas, awalnya tim menyusuri pinggiran; menyusuri para informan untuk mengumpulkan informasi agak lengkap tentang target utama. Kekagetan demi kekagetan terkumpul, terangkum membingkai imaji sang target utama; misalnya, pria tak bertanggung jawab, kerap menimbulkan masalah, pria misterius, atau perempuan yang kerap menggandeng lelaki berbeda, dan lainnya.
Di sini, istilah ”klien” menarik dipersoalkan. Atas dasar informasi dari mereka yang datang kepada tim, sang klien lalu diperlakukan bak seorang pencari keadilan. Tim bergerak bersama dalam satu mobil dan kamera terus berputar merekam aneka percakapan di dalamnya. Dalam profesi dunia hukum, ”klien” adalah seseorang atau pihak yang didampingi seorang profesional untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam dunia hukum, ”klien” yang buta hukum didampingi penasihat hukum dan di dalamnya ada kalkulasi ekonomi tertentu atas jasa yang telah diberikan sang profesional.
Namun, dalam tayangan kisah nyata pencarian orang, ”klien” menjadi semacam penyewa jasa detektif swasta—ada izin operasional atau tidak?—untuk bisa bertanya kiri kanan, membuntuti seseorang, masuk dan menggedor pintu orang untuk ”mengetahui kebenaran sesungguhnya”.
Dari mana izin yang membolehkan tim tayangan kisah nyata ini—plus kamera yang terus jalan merekam ekspresi kaget, marah, atau menahan emosi—untuk bisa mengubek-ubek hidup pribadi seseorang, bahkan harta pribadi sang target utama.
Cukup dengan mengatakan bahwa si pembawa acara datang dari satu stasiun dengan nama program tayangan kisah nyatanya, maka ia seperti berhak bertanya-tanya, menginterogasi, membujuk, bahkan harus siap jika pihak yang didatangi menunjukkan sikap tidak suka.
Memang wajah seseorang kadang dibuat kabur untuk memberi efek seolah ada yang hendak dilindungi, atau di akhir acara selalu ada tagline ”Kisah ini telah disetujui oleh berbagai pihak yang terlibat”. Padahal, kita tak cukup tahu apakah itu benar-benar kisah nyata yang ditayangkan atau tak lebih dari tayangan baru yang intinya sama dengan tayangan lainnya?
”Klien” di sini seolah pihak yang tak perlu dikritik lagi dan memiliki kebenaran sesungguhnya—meski di akhir cerita, pemirsa baru bisa mendapat bingkai kisah yang lebih utuh; siapa sebenarnya yang ”jahat” dan yang ”baik”? Dan tim tayangan kisah nyata sedang mengabdi kepentingan klien yang mereka wakili.
Atas dasar apakah sang klien bisa diambil kisahnya di bagian pengisahan tayangan kisah nyata? Apakah kasus pribadi seperti itu benar-benar punya makna bagi penonton? (”Memang tak bermakna, tetapi asyik ditonton.”) Mengapa penonton terbuai oleh kisah pribadi seperti ini? (”Karena seperti perkelahian di tengah jalan, orang ingin tahu masalahnya, kelanjutannya, dan akhir kisahnya.”) Apakah ini bagian dari budaya mengintip atau voyeurism yang ditampilkan via layar kaca? (”Sangat bisa jadi ’ya’.”) Kuasa kamera memungkinkan hal yang tak semestinya diumbar kepada publik (baca: pasar) jadi bisa ditonton jutaan orang. Narsisisme jelas berkontribusi besar menghasilkan kondisi ini.
Apakah pas istilah ”klien” di sini? Silakan jawab sendiri. Yang lebih penting; apakah setelah punya ”klien”, tim tayangan kisah nyata punya hak mengobok-obok hidup pribadi seseorang (target utama) bersenjatakan kamera dan lampu sorot, dan menyodorkan kebenaran ala ”klien”-nya? Adakah target utama diberi kesempatan berargumen? Tak terlalu penting.
Pertanyaan lain, dari mana tim punya ”izin” menginterupsi hidup seseorang dan menguak luka yang mungkin untuk sebagian orang telah dikubur dalam-dalam? Pusing? Matikan saja televisi Anda. Baca buku lebih bermanfaat: mencerdaskan!
sumber: koran.kompas.com
tontonan tidak bermutu... tapi orang indonesia tetep aja nonton
ReplyDeleteyupp..... lama-lama seperti dibuat2!!
ReplyDeleteduhhh emang kita ga ngerti apa mana yang beneran dan yang dibuat2! keliatan banget