Sarlito Wirawan Sarwono
Jihad fisabilillah, kata mereka. Namun, buat kita astagfirullah... membunuh orang itu dikutuk Allah, apalagi membunuh diri. Karena itu, biasanya kita langsung mengutuk perbuatan mereka, bukan hanya si pelaku bom, tetapi seluruh jajaran Jemaah Islamiyah dan kelompok-kelompok sejenis yang dianggap minoritas sempalan Islam, yang beraliran radikal dan kena tipu fatwa Osama bin Laden (yang notabene bukan ulama, tetapi bekas kaki tangan CIA).
Padahal, yang dikutuk itu adalah sesama Muslim, sama dengan kita. Jadi, sebenarnya mereka adalah bagian dari kita juga. Betapa tidak, mereka mengakui Allah dan Rasul yang sama dengan kita, mainstream Muslim Indonesia. Al Quran mereka sama dengan yang kita baca setiap hari. Mereka penganut Sunni, sama dengan kita. Rukun Iman dan Rukun Islam mereka juga sama dengan kita.
Bahkan, dalam soal jihad, pandangan mereka juga sama dengan kita. Kita pun dalam keadaan terdesak atau terancam akan berjihad fisabilillah kepada siapa pun yang mengancam eksistensi kita. Peristiwa Tanjung Priok (1984), misalnya, meletus karena masjid dimasuki serdadu bersepatu. Maka jihad fisabilillah terjadi.
Di antara kita tentu ada yang berpendapat bahwa para pelaku bom itu tidak perlu kita dekati, apalagi diampuni. Mereka mau menang sendiri dan tidak mau menganggap kita yang tidak sepaham sebagai ikhwan mereka. Untuk apa kita ikhwankan mereka kalau mereka tidak mau ikhwankan kita?
Logis juga pendapat seperti itu. Namun, apa perbedaan kita dengan mereka? Kita tidak ikhwankan mereka karena mereka tidak ikhwankan kita. Bukankah itu setali tiga uang? Padahal, Allah mengajarkan bahwa Islam itu satu. Jangankan dengan sesama Muslim, dengan seluruh umat manusia pun kita satu. Kalau kita yakin bahwa kitalah yang benar, caranya tidak dengan meniru cara mereka, melainkan merujuk kepada petunjuk Allah. Allah berfirman kita harus merangkul mereka, ya kita rangkullah mereka.
Untuk bisa merangkul mereka, atau lebih tepat saling merangkul, kita perlu kenal dulu siapa mereka. Kebetulan, sebagai seorang peneliti masalah-masalah terorisme, saya lumayan banyak bergaul dengan ikhwan-ikhwan Jemaah Islamiyah ini. Pertama yang harus kita pahami, tidak semua anggota atau simpatisan JI (termasuk yang saat ini masih dipenjara atau di rumah tahanan) setuju pengeboman. Sebagian besar justru menentang. Hanya sebagian kecil, kalau tidak bisa dikatakan beberapa gelintir orang, yang menentang.
Jadi, di antara mereka sendiri saling berbeda pendapat, dan perbedaan pendapat tentu saja dibolehkan. Namun, tujuan mereka tetap sama, membentuk masyarakat yang menjalankan syariat Islam. Dalam kenyataan, baik mereka yang setuju maupun tidak setuju dengan bom sama-sama melaksanakan syariat Islam dengan baik dan konsekuen pada diri dan keluarga masing-masing.
Dalam hal ini, saya berani menjamin bahwa kelakuan mereka lebih baik (menjauhi maksiat dan lainnya) daripada kita-kita yang mengaku mainstream Islam tetapi tetap STMJ (Shalat Terus Maksiat Jalan).
Hanya dalam praktiknya, mereka yang setuju bom berpendapat bahwa masyarakat sekarang jahiliah, Islam dalam keadaan terancam, kondisi dan situasi dalam keadaan siaga I, jadi kita harus melakukan jihad fisabilillah kalau tidak mau dihancurkan oleh kafir-kafir itu.
Sementara yang tidak setuju berpendapat bahwa ada saat-saat dan tahap-tahapnya dalam berjuang. Situasi Indonesia sudah aman dan terkendali, orang Islam bebas berpendapat, boleh berserikat, bahkan syariat Islam sudah mulai banyak diadopsi hukum negara. Indonesia adalah lahan dakwah. Kita harus terus berjihad untuk Islam, tetapi bukan jihad fisabilillah (perang) yang justru akan menghancurkan organisasi kita sendiri (perkumpulan dibubarkan, pimpinan ditangkapi, jaringan diacak-acak), karena memang kenyataannya kita melanggar hukum.
Sudah tentu saya tidak setuju dengan bom dan tidak setuju dengan pemrakarsa dan pelaku bom. Siapa pun dia. Namun, saya ingin mengimbau Anda, siapa saja yang membaca tulisan ini, untuk tidak buru-buru menyalahkan mereka. Saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah karena justru akan mempertajam perasaan ingroup (kami) dan outgroup (mereka). Makin dimusuhi, mereka akan semakin radikal.
Saling memaafkan, meski sangat berat (khususnya bagi para korban atau keluarga korban) tetapi bisa, makan waktu lama, merupakan cara satu-satunya untuk mengawali penyelesaian yang tuntas dan insya Allah akan bisa menghentikan bom-bom berikutnya di Indonesia.
Kalau Afrika Selatan bisa menyelesaikan konflik rasial mereka, hanya dipimpin Nelson Mandela, yang renta dan narapidana, macam mana Indonesia tak bisa? Apalagi Obama sudah mulai melakukannya di AS, mengapa Indonesia tidak?
No comments:
Post a Comment