Para pemain sepakbola, bekerja keras, mati-matian mencetak gol atau mempertahankan gawang. Dan ketika salah satu diantara mereka mencetak gol atau menggetarkan jala lawan, mereka bergembira, sujud syukur dan meluapkan rasa. Sementara para politisi atau orang-orang yang namanya disebut sebagai menteri, mereka belum bekerja, mereka belum mencetak angka, mereka belum membuat gol, bahkan mereka belum dilantik dan disumpah. Tapi mereka sudah berani sujud syukur!
Lalu apa yang mereka syukuri? Jabatan sebagi seorang menteri? atau sesuatu dibalik jabatan itu?
Betapa syukurnya mereka nampak di siaran langsung televis yang dipancarkan ke seluruh Indonesia. Mereka sedang mensyukuri jabtan!
Apa bedanya antara para pemain bola dengan menteri-menteri yang sudah terpilih? Kali ini bukan saja soal sujud syukur.
Jika para pemain bola, mereka harus membuktikan kepiawaian permainannya, kecemerlangan karir, kecanggihan skill, baru nilai transfer mereka meroket ke angka yang fantastis. Tapi para menteri ini, mereka belum bekerja, bahkan mereka belum melakukan apapun untuk menunjukan prestasinya, pagi-pagi sudah tersiar kabar, rancangan yang pertama kali diajukan adalah kenaikan gaji para menteri.
Mengapa perlu naik gaji? Kerja saja belum. Memberikan hasil yang terbaik untuk seluruh rakyat Indonesia, masih dalam angan-angan dan rencana. Tapi permintaan nilai transfer sudah diajukan di muka.
Mungkin kebaikan gaji bisa terjadi, mungkin juga tidak. Tapi munculnya berita permintaan gaji yang naik sebelum bekerja, sungguh melukai perasaan keadilan seluruh rakyat Indonesia. Apalagi ditengah situasi ekonomi yang belum mampu memberikan lapangan dan peluang kerja.
Apa perbedaan pemain sepakbola dan para meneteri yang terpilih? Yang jelas, menjadi pemain sepakbola mungkin tak memiliki peluang untuk melakukan korupsi uang negara. Sementara menjadi menteri, peluang datang tanpa diminta.
sumber: Majalah Sabili
share on: share to facebook
No comments:
Post a Comment