Musim promosi diri dan re-branding personal sekarang lagi marak. Rizal Malarangeng, Soetrisno Bachir, Wiranto, Prabowo Subianto dan Amien Rais lagi berebut perhatian publik. Tentu saja tidak ketinggalam juga SBY dan JK. Personal branding memang lagi naik daun. Ada yang setuju, ada juga yang alergi.
Studi kasus paling pas untuk personal branding ada pada Barack Obama. Anak muda yang masa kecilnya sempat sekolah di Jakarta ini tiba-tiba memporak porandakan peta kompetisi pemilihan Presiden Amerika. Ada yang melecehkan, ada yang cinta, ada yang benci, ada yang pengagum berat sampai berani bersumpah menjadi pendukung setianya. Yang jelas, sekarang ini Obama sedang ada di puncak kinerja personal branding-nya. Menang atau kalah pada pilpres Amerika nanti merupakan isu lain.
Lalu bagaimana caranya Obama membangun personal brand? Atau lebih mendasar lagi, apakah Obama dengan sengaja membangun personal brand-nya? Atau jangan-jangan hanya kebetulan dan keberuntungan semata yang membuat brand Obama sedemikian ’kinclong’? Jawabnya jelas, ada integrated perception management company yang selalu mempersiapkan, mengawal dan memonitor personal brand performance Obama.
Personal branding seringkali dimaknai sebagai ’poles-poles’ wajah dan cara bicara seseorang. Tidak heran bila ada calon pimpinan perusahaan, politikus atau pejabat yang akan dilantik maka yang ’buruan’ dilakukan adalah: beli baju baru, beli sepatu yang seformal mungkin, gunting rambut seperti gaya pejabat pada umumnya dan lalu latihan pidato. Cukupkah? Jawabnya: ”SANGAT CUKUP” sebagai modal dijatuhkan di kemudian hari.
Barack Obama melakukan banyak perubahan pada penampilan visualnya. Salah satu yang kelihatan berbeda secara fisik pada Obama adalah tampilannya yang lebih ”berisi” dan ’berisi’. Obama sekarang tidak lagi tampil kerempeng meskipun tetap tidak ’boros’. Kalau sampai terpilih, presiden kan harus berkomunikasi dan tampil bersama dengan segenap masyarakat yang miskin dan kaya raya. Membangun asosiasi bahwa kandidat presiden bisa bergaul dengan warga makmur perlu diimbangi dengan penampilan yang berkesan lebih makmur. Karenanya Obama perlu juga menyesuaikan diri.
Bagaimana dengan pidato Obama? Sesungguhnya Obama bukanlah orator ulung seperti mantan Presiden Kennedy yang juga dari Partai Demokrat. Hanya saja Obama berhasil memanfaatkan isu-isu strategis, yang ada kalanya sengaja dicari isu yang bertentangan dengan pesaingnya, sehingga pidato Obama tetap ditunggu oleh khalayak. Demikian juga pemunculan Obama yang sudah ditunggu-tunggu di konvensi partai Demokrat di Denver tetapi tetap saja masih ’diicrit-icrit’ dalam rangka membangun rasa penasaran dan kangen publik pada calon pemimpinnya. Dan tentu saja untuk kesemua hal tersebut perlu strategi dan perencanaan personal brand yang matang.
Branding, termasuk personal branding, memang tidak hanya persoalan ‘bungkus’ untuk menghasilkan persepsi. Sehebat apapun asesoris penampilan seseorang, tetapi kalau dalam perdebatan terlihat tidak menguasai persoalan atau mengambil posisi yang salah, maka sia-sialah biaya promosi yang dihamburkan.
Kisah re-branding Barack Obama sendiri juga akan menjadi salah satu bahasan utama dalam dialog Why & How Re-Branding yang akan menampilkan Bung Andy Noya sebagai studi kasus riil dan bisa menjadi ajang temu kangen dengan para penggemar Kick Andy. Kisah re-branding Obama belumlah cerita yang sudah usai. Masih ada episode berikutnya dari re-branding Obama.
Re-branding personal, termasuk dalam hal Obama, membutuhkan paling sedikit adanya: Branding Commitment, Strategi re-branding, Brand Identity Formulation, Brand Communication dan Brand Evaluation. Tentu saja awalnya adalah komitmen, yang dilanjutkan dengan harapan besar di hari esok, seperti yang diungkapkan oleh Barack Obama ketika menerima nominasio pencalonan President dari partai Demokrat, yaitu: “I Have a Dream”.Sumber:
http://www.kickandy.com/?ar_id=MTE0Mg==
No comments:
Post a Comment