Saya mendapat kesempatan untuk mendaki Gunung Anak Krakatau dengan difasilitasi oleh Travellers Krakatoa Nirwana Resort yang bertempat di Kota Kalianda, Lampung Selatan. Mendaki Gunung Anak Krakatau merupakan salah satu paket aktifitas yang diberikan pengelola Travellers untuk tamu.
Untuk mendaki Gunung Anak Krakatau, kita harus memiliki ijin dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (KPSDA) Lampung. Saya tak perlu repot mengurus perijinan karena seluruhnya telah diurus oleh pihak Travellers.
Dari resort, rombongan yang terdiri dari jurnalis empat media ditemani Humas Travellers Maulandiki, melaju sekitar 20 menit dengan kendaraan milik resort menuju Dermaga Canti, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan kapal nelayan. Sebenarnya, untuk menuju Gunung Krakatau dapat dilakukan melalui dermaga di depan resort, namun ini akan memakan waktu tempuh yang lebih lama.
Perjalanan dari Dermaga Canti menempuh waktu sekitar tiga jam hingga Krakatau. Sepanjang perjalanan kita melewati Pulau Sebesi, Sebuku, Sebuku Kecil, Panjang, dan Setiga. Setelah 2,5 jam melintasi Selat Sunda, mulai terlihat Cagar Alam Krakatau dari kejauhan.
Kapal terus melaju mendekati gunung. Setelah dekat, kapal lalu mengitari Gunung. Kita dapat melihat batu-batu besar yang terlempar dari perut gunung akibat letusan gunung dan membentuk tebing-tebing di pinggir pantai.
Setelah mengitari gunung, kapal akhirnya merapat di akses masuk. Di sana terdapat satu pos berukuran 2 X 2 meter dengan atap yang mulai rusak serta tugu kecil bertuliskan Cagar Alam Krakatau. Di pasang juga papan penjelasan mengenai cagar alam dan sejarah meletusnya Gunung Krakatau. Tertulis, Gunung Anak Krakatau masuk dalam kawasan Cagar Alam Krakatau dengan total area 13.605 hektar meliputi darat dan laut.
Kawasan cagar alam itu dikelola oleh BKSDA Lampung di bawah Departemen Kehutanan. Luas Gunung Anak Krakatau sebesar 800 hektar dengan panjang pantai sekitar dua km. Ketinggian gunung sekitar 350 meter dan tiap tahun meningkat sekitar satu meter.
Dahulu sebelum Gunung Krakatau meletus hebat tahun 1883, terdapat lima gunung yaitu Rakata yang sekarang bernama Krakatau, Danan, Perbuatan, Sertung, dan Panjang di kawasan tersebut. Ledakan maha dasyat Gunung Rakata mengakibatkan Gunung Danan dan Perbuatan hancur total lalu menghilang. Sedangkan Gunung Rakata sendiri kehilangan 60 persen bagian.
Setelah membaca sejarah dan peraturan-peraturan mendaki gunung, kami langsung memulai pendakian ditemani seorang petugas dari BKSDA bernama Awaludin. Arahan petugas, pengunjung hanya diperbolehkan mendaki hingga puncak bukit pertama karena sangat berbahaya.
Anak Gunung Krakatau terdiri dari dua bukit. Bukit ke dua merupakan puncak kawah yang menyemburkan asap. Setiap pendaki harus mengenakan helm dan masker untuk antisipasi jika sewaktu-waktu gunung meletus atau biasa disebut batuk.
"Kita tak pernah tahu kapan Anak Krakatau batuk. Kalau batuk akan keluar asap belerang yang baunya menyengat dan melemparkan batu-batu besar. Lemparan batu bisa sampai ke laut. Jadi kalau batuk kita harus lari sambil lihat ke atas hindari batu," jelas Awaludin.
Mendengar penjelasan petugas, tak mengendurkan sedikit pun keinginan saya untuk mendaki. Tiga jam terombang-ambing di lautan masa hanya sampai di kaki gunung, pikirku.
Jalur yang akan kita lalui membelakangi kawah gunung sehingga cukup aman. Untuk mencapai puncak, kita harus melewati sembilan patok yang dipasang sebagai jalur penanda.
Antarpatok berjarak 100 meter.Ketinggian di patok ke sembilan mencapai sekitar 300 meter dari permukaan laut. Melangkah sepanjang 200 meter pertama jalur masih datar. Kita harus melewati sela-sela daun dan pohon tumbang seperti hutan.
Kanan dan kiri jalur terbentang pohon cemara dan beberapa jenis pohon lain. Awal perjalanan kami ditemani kicauan burung. Menurut Awaludin, hewan penghuni lain yaitu biawak, ular, tikus hutan, kupu-kupu, dan hewan lainnya.
Kita terus mendaki langkah demi langkah. Setelah melewati patok ke tiga, jalur mulai sedikit mananjak.
Kita melangkah di atas pasir yang berasal dari letusan gunung. Harus ekstra hati-hati berjalan karena pasir dapat amblas.
Sepanjang pendakian tampak batu-batu besar yang berasal dari muntahan Gunung Anak Krakatau. Batu-batu itu mematahkan beberapa batang pohon serta merusak beberapa patok.
Saya pun terus mendaki sekuat tenaga. Melewati patok empat, jalur mulai curam sehingga langkah kaki mulai berat.
Menurut Awaludin, pengunjung jarang ada yang mau mendaki hingga puncak lantaran tanjakan yang curam. Selain itu, debu pasir juga menyusahkan pendakian.
Melewati patok lima mulai sedikit terlihat puncak kawah yang masih aktif. Tampak belerang berwarna kuning menyebar di puncak kawah.
Jika kita membalikkan badan mulai tampak laut Selat Sunda. Terus melangkah ke atas bukit semakin jelas pemandangan laut dan puncak kawah. Saya semakin penasaran dan mempercepat langkah.
Setelah 30 menit berjuang mendaki, kami akhirnya tiba di patok sembilan puncak bukit pertama. Hanya satu kata untuk menyimpulkan gambaran dari atas puncak bukit pertama Anak Krakatau, indah.
Biru lautan luas, Gunung Krakatau dan Pulau Panjang, puncak kawah Anak Krakatau yang diselimuti belerang berwarna kuning, hamparan pohon cemara, dan batu-batu besar muntahan gunung membayar lunas semua rasa lelah.
Awaludin mengatakan, kami merupakan pengunjung pertama yang mendaki hingga puncak sejak tahun 2007. Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir aktifitas Anak Krakatau meningkat dan terus batuk sehingga pengunjung tidak diperbolehkan naik hingga puncak.
"Tamu hanya boleh sampai patok tiga. Sejak bulan lalu mulai sedikit aman. Udah enggak batu-batuk lagi," ucap dia.
Anak Krakatau akan batuk, jelas dia, ditandai dengan getaran lokal seperti gempa. Selang beberapa menit setelah gempa, dari kawah akan terlempar batu-batu dan mengeluarkan asap belerang. "Kita perhatikan dulu ke arah mana batu akan terlempar. Kalau ke arah kita, lari lah sekencang-kencangnya," ucap dia. Untuk itu pengunjung harus didampingi petugas.
Di puncak kawah terpasang alat vulkanologi untuk memantau aktifitas gunung milik Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Namun, alat itu telah rusak total tertimpa batu-batuan. Awaludin tak mengetahui persis kapan alat itu rusak karena baru kali ini dia mendaki hingga puncak dalam tiga tahun terakhir.
Makan siang di pinggir pantai
Setelah puas menikmati ciptaan Yang Kuasa dari puncak bukit, kami lalu kembali ke pos. Menuruni bukit harus lebih berhati-hati dari pada mendaki karena dasar pijakan pasir dan mudah merosot.
Panas terik sinar matahari membuat sedikit kelelahan. Akhirnya kami beristirahat sebentar di bawah pohon cemara. Setelah mengumpulkan cukup tenaga, kita kembali melanjutkan perjalanan.
Begitu tiba di pos, koki Travellers telah menyediakan santap siang di pinggir pantai. Tampaknya mereka bekerja selama pendakian. Ayam, cumi, ikan bakar, sayuran segar, sambal Seruit khas Lampung, buah-buahan telah dihidangkan. Mantap... Tanpa tunggu waktu, hajar.
Saya duduk di atas pohon tumbang dan di teduhi Pohon Cemara untuk menikmati hidangan. Saya santap hidangan sambil menghadap pantai ditemani desiran suara ombak dan tiupan angin pantai. Ahhh.., benar-benar nikmat. Hilang semua rasa lelah. Sungguh pengalaman yang menarik...
Sumber: Kompas
No comments:
Post a Comment