Mereka akan bersaing meraih lisensi WiMAX dengan pita frekuensi 2,3 GHz di 15 wilayah (lihat: Zonasi Layanan Pita Lebar Nirkabel 2,3 GHz). Masing-masing zona menyediakan 30 kanal MHz, yang terbagi menjadi dua blok masing-masing 15 MHz. Bila sesuai dengan jadwal, proses lelang akan berakhir 17 Juni 2009 dengan penetapan pemenang di tiap wilayah.
Antusiasme pelamar ini tergolong mengejutkan. Maklum, sejak awal tahun ini, serangan bertubi bersarang ke Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) terkait kebijakan lelang layanan akses pita lebar nirkabel (broadband wireless access –BWA).
Setelah melalui proses panjang selama tiga tahun, akhirnya Menteri Kominfo, Muhammad Nuh, mengesahkan empat peraturan terkait dengan penataan pita radio dan lelang BWA. Dua beleid yang keluar pada Januari lalu memutuskan beberapa hal penting terkait dengan lelang BWA.
Antara lain menetapkan pita frekuensi 2,3 GHz sampai 2,4 GHz selebar 90 MHz sebagai kanal jaringan tetap lokal berbasis radio yang memakai BWA dengan moda TDD (time division duplex). Lebar kanal ini terbagi menjadi 12 blok dengan masing-masing 5 MHz, dua blok masing-masing 15 MHz, dan satu blok 10 MHz. Pemerintah juga memutuskan, lelang operator BWA tahao pertama hanya untuk teknologi WiMAX berstandar 802.16d. Standar ini dikenal dengan istilah fixed and nomadic WiMAX.
Selain itum tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk peranti BWA 2.3 GHz ditetapkan minimal 30% untuk subscriber station (SS) atau customer premise equipment (CPE), yaitu peranti penerima yang dipegang konsumen, dan 40% untuk base station (BS/stasiun pemancar). Secara bertahap, TKDN harus naik menjadi sekurang-kurangnya 50% dalam waktu lima tahun.
Kewajiban TKDN adalah wujud keinginan pemerintah menghidupkan industri manufaktur telekomunikasi Indonesia. Selama ini, Indonesia hanya menjadi pasar produk-produk telekomunikasi asing. Setiap tahun, sekitar 99% dari belanja modal operator telekomunikasi mengalir ke luar. Nilai belanja modal tahun lalu saja mencapai RP 44 trilyun.
Nah, poin inilah yang mendapat kritik pedas Forum Komunikasi Broadband Wireless Indonesia (FKBWI). Menurut salah satu penggiat FKBWI, Wahyu Haryadi, niat baik pemerintah itu belum didukung dengan kesiapan industri dalam negeri. Sebab belum ada vendor peranti WiMAX lokal yang memenuhi standar WiMAX Forum dan memenuhi harapan operator BWA.
Pemakaian standar 802.16d di pita 2,3 GHz oleh vendor WiMAX lokl tak sesuai dengan roadmap WiMAX Forum. Sebab pita 2,3 GHz dan 2,5 GHz diperuntukkan bagi standar mobile WiMAX 802.16e. Wahyu pun menyinggung tentang kapasitas BS vendor lokal yang hanya sanggup menampung 10 CPE. “Kapasitas maksimum ini sangat tidak memenuhgi ekspektasi operator BWA. Belum lagi kestabilan perangkat yang belum teruji di lapangan,” kata Wahyu.
Ia menilai, pemilihan standar yang tak sesuai dengan WiMAX Forum membuat harga peranti tak kompetitif. Misalnya, CPE WiMAX lokal dibanderol Rp 3 juta per unit. Harga setinggi ini akan menyulitkan operator layanan WiMAX memberikan harga murah kepada Pelanggan.
WiMAX sebagai layanan keempat telekomunikasi (4G) memang digadang-gadang menjadi sarana untuk memperluas jangkauan telepon dan internet di Indonesia. Teknologi nirkabel pita lebar berbasis protokol internet berkecepatan tinggi ini sanggup menerima data hingga 50 megabyte per detik (mbps). Jauh lebih cepat dari layanan internet berbasis layanan selular generasi ketiga (3G) yang hanya sekitar 2,4 mbps.
Kecepatan seperti ini membuat beragam aktivitas multimedia, seperti menonton dan mengunduh film, multi-player online games, video conference, dan browsing internet bisa dilakukan secara bersamaan dengan nyaman.
Managing Director Southeast Asia WiMAX Program Officer Intel Corp, Werner Susanto, menyebutkan bahwa standardisasi WiMAX profile 1B (pita 2,3 GHz dengan saluran 5 MHz/10MHz) paling diminati negara-negara Asia. Antara lain Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru, Filipina, dan Bangladesh. Profil 1B didukung penuh para vendor jaringan seperti Alcatel Lucent, Motorola, Samsung, dan Cisco.
Dukungan juga datang dari produsen ODM (original design manufacturer) penghasil CPE dan USB dongle. Alhasil, 1B makin cepat mencapai skala ekonomi sehingga mendorong penurunan harga CPE. Dalam setahun, harga CPE per unit turun US$ 160 menjadi US$ 80. Sampai Maret lalu, harganya telah menyentuh US$ 60. Skala ekonomi ini tak bisa dinikmati Indonesia bila tetap memilih standar 802.16d di frekuensi 2,3 GHz.
Namun keterjangkauan harga layanan WiMAX juga ditentukan oleh harga frekuensi BWA yang dipatok pemerintah. Agar terjangkau, harga spektrym hrus lebih murah daripada spektrum 3G senilai Rp 160 milyar per 5 MHz untuk lisensi nasional. FKBWI mengusulkan, lelang pita BWA hanya sepersepuluh dari harga frekuensi 3G, yaitu sekitar Rp 250 juta per 1 MHz.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo, Gatot S. Dewa Broto, menjamin bahwa harga lelang BWA tidak akan semahal 3G. Ia memang belum bisa menyebutkan berapa nilai dasar yang dipakai pemerintah. Sebab nilai itu baru muncul setelah babak prakualifikasi selesai, awal Juli nanti. "Sebagai perbandingan, biaya hak penyelenggaraan frekuensi BWA selama ini sudah berbeda dari 3G," katanya.
Gatot menambahkan, keputusan pemerintah dalam pemilihan standar teknologi BWA, frekuensi, dan TKDN diambil secara proporsional. Menurut Gatot, jika keinginan stakeholder yang semuanya dikuasai vendor asing diikuti, industri dalam negeri tak akan pernah punya peluang hidup.
Gatot mengakui, standar 802.16e lebih baik dan telah dipakai oleh 16 negara. Apalagi, standar ini bisa bermigrasi dengan mulus ke 802.16m yang punya kecepatan akses data lebih tinggi dan mobile. Namun vendor lokal yang sudah berinvestasi puluhan milyar rupiah baru sanggup membuat peranti berstandar 802.16d.
***
Para produsen tentu butuh waktu untuk mencapai titik impas. Jika pemerintah memilih standar 802.16e yang semua perantinya masih dikuasai vendor asing, vendor lokal WiMAX akan mati. "Selain perlindungan industri dalam negeri, kami juga menilai, standar nomadic sangat tepat untuk pasar Indonesia yang sebagian besar rural dan penetrasi akses datanya belum tinggi," ujarnya.
Standar 802.16e yang mobile lebih tepat dipakai masyarakat perkotaan yang mobilitasnya tinggi. Lagi pula, anggapan bahwa skala ekonomi sulit tercapai tak sepenuhnya tepat. Sebab pasar layanan internet pita lebar di Indonesia masih sangat besar. Penetrasi pemakai layanan pita lebar baru mencapai 0,2% dari 235 juta penduduk Indonesia.
Tak mengherankan bila selama ini Indonesia selalu menjadi incaran vendor-vendor teknologi asing. Dan hasilnya, dunia telekomunikasi kita didominasi asing. Pemerintrah secara perlahan ingin mengubah peta ini. Dimulai dengan persyaratan kandungan lokal pada pelaksanaan layanan 3G.
Lalu disambung dengan ketentuan TKDN untuk peranti WiMAX. Sampai kini, ada dua produsen BS dan CPE WiMAX dalam negeri yang memenuhi sertifikasi TKDN dari Departemen Perindustrian. Keduanya adalah PT. Teknologi Riset Global (TRG) yang mengusung merek TRG WiMAX dan PT. Hariff Daya Tunggal dengan produk Himax.
Selain itu, ada satu perusahaan lokal yang sanggup membuat chipset WiMAX bernama Xirca. Chipset ini hasil kreasi tim dari Institut Teknologi Bandung yang kemudian dibeli Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Sylvia Sumarlin, untuk diproduksi secara komersial. Xirca-lah yang memasok chipset bagi dua vendor jaringan WiMAX lokal itu.
Untuk membangun peranti WiMAX, TRG dan Hariff sama-sama menggandeng mitra dari Kanada. TRG dengan Tranzeo Wireless Technologies Inc, sedangkan Hariff dengan Wavesar. Duet ini dibutuhkan karena masih ada beberapa komponen elektronik yang tidak tersedia di Indonesia.
Menurut Sakti Wahyu Trenggono, Direktur PT TRG, desain chipset mereka harus dibuat di Kanada. Desain printed circuit board (PCB) juga masih harus dibuat di Taiwan. Sebab di Indonesia belum ada perusahaan yang bisa membuat PCB enam lapis sesuai dengan desain TRG. Komponen lain sudah bisa diproduksi di Batam dan Bandung.
Hasilnya, kandungan lokal TRG dan Hariff memenuhi persyaratan TKDN. Hasil diaudit PT Surveyor Indonesia menunjukkan, kandungan lokal Himax mencapai 67,47% untuk BS dan 36,16% untuk CPE.
Selain memenuhi syarat TKDN, PT TRG-anak usaha PT Solusindo Kreasi Pratama (Indonesian Tower)-juga mengklaim bisa memasok 1,5 juta unit peranti WiMAX setiap tahun. Perangkat ini terdiri dari BS, CPE, dan access manager untuk pengelolaan BS dan lalu lintas data. Ditambah dengan billing server, yaitu sistem pendataan jumlah pemakaian serta informasi tagihan dan EMS Server, sistem manajemen operasional menjadi jantung operasional WiMAX.
Untuk memasok peranti-peranti itu, TRG dan Hariff masing-masing menginvestasikan puluhan milyar rupiah. Untuk membuat prototipe saja, biayanya mencapai Rp 10 milyar. Apalagi bila biaya produksi dihitung.
Menurut executive General Manager Telkom Divisi Regional 1 Sumatera, Muhammad Awaluddin, kecepatan akses WiMAX ketika diuji coba di Sumatera mencapai 20 mbps, dengan daya jangkau sampai 20 kilometer. Berbekal uji coba ini, Telkom berencana menyelimuti seluruh Sumatera dengan jarigan WiMAX. Jika sukses mendapat lisensi WiMAX, mereka akan membangun 40 node (setara dengan 139 BS) WiMAX.
***
Sekjen Masyaralat Telematika Indonesia, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, menegaskan bahwa kemampuan yang ditunjukkan para pemain WiMAX lokal rupanya membuat pabrikanasing keder. Sebab ini berarti, Indonesia tak lagi bisa dijadikan sebagai mesin penghasil keuntungan besar. "Tentu mereka tak mudah menyerah. Berbagai langkah dilakukan, dari membangun usaha kemitraan dengan pengusaha lokal hingga memakai lobi-lobi politik ke birokrat, politisi, dan LSM," kata Mas Wig, panggilan akrab Wigrantoro.
Salah satu pengusung usul kemitraan ini adalah Intel, yang merupakan penggerak WiMAX Forum. Menurut Werner, Intel menawarkan kolaborasi industri global pembuat 802.16e dengan pengembang lokal. Tujuannya, mengurangi kurva belajar, lebih cepat dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, dan harga yang bersaing. "Kami ingin menjadi mak comblang antara industri lokal dan global, serta membuat manufaktur lokal bisa sustainable," ujar Werner.
Keinginan vendor asing itu memang layak diapresiasi. Tapi jangan sampai melenakan pemerintah dalam usaha membangun kemandirian teknologi dari asing.